USAHA TANI
Pendapatan yang Terus Tergerus
Jumat, 16 Juli 2010 | 04:06 WIB
Oleh Ninuk Mardiana Pambudy
Endang Ali Nurdin (45) jelas petani kaya dengan pemilikan sawah 5,5 hektar. Begitu juga Walam (42) yang memiliki lahan sawah 3 ha. Meski begitu, kedua petani di Kabupaten Karawang itu mengaku hasil dari padi sawah mereka belum mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sawah mereka berpengairan teknis. Endang tinggal di Desa Tanjung Sari, Kecamatan Cilebar, sementara sawah Walam berada sekitar 200 meter dari rumahnya di Desa Cikampek Pusaka, Kecamatan Cikampek.
Meskipun secara statistik nilai tukar petani naik terus sejak tahun 2005, kenaikannya tidak mampu mengimbangi kebutuhan hidup dan inflasi.
Endang, yang memiliki anak berusia 16 tahun, 8 tahun, dan 2 tahun, mengaku rata-rata tiap bulan biaya hidup keluarganya Rp 3 juta, terutama untuk biaya sekolah anak. ”Biarpun uang sekolah gratis, tetapi ada uang buku, jajan, les, transpor. Belum kebutuhan istri, lalu saya untuk ke sawah. Anak yang pertama minggu depan sekolah ke SMK Pertanian Tanjung Sari di Bandung, biaya lagi,” kata Endang.
Dari 5,5 ha sawah warisan orangtuanya, Endang hanya menggarap 0,85 ha. Sisanya digarap dengan sistem maro bersama petani di dekat sawahnya. Dengan cara ini, Endang, yang tinggal 25 kilometer dari sawahnya, mendapat jaminan para penggarap tersebut akan ikut menjaga sawah garapannya yang 0,85 ha. ”Sudah tradisi di sini. Sekalian kasih pekerjaan untuk orang-orang desa,” kata sarjana pertanian dari universitas swasta di Bandung itu.
Dalam setahun, Endang hanya tanam dua kali karena banyak saluran irigasi sekunder dan tersier rusak. Dari sawah garapan sendiri, dia panen rata-rata 5 ton, tetapi yang bersih dibawa pulang 4 ton karena yang 1 ton untuk biaya memanen. Dengan harga gabah kering giling yang dia terima saat ini Rp 2.850 per kilogram, Endang mendapat hampir Rp 11,5 juta. Namun, hasil bersihnya hanya Rp 6 juta karena dipotong biaya produksi, mulai dari pengolahan tanah, tanam, benih, pupuk, hingga Pajak Bumi Bangunan sebesar Rp 5,5 juta.
Sisa sawah yang dikerjakan dengan sistem maro memberi hasil 2 ton gabah/ha/tanam atau senilai Rp 25,6 juta sehingga total penghasilan Endang per panen sekitar Rp 31,5 juta.
”Itu untuk hidup enam bulan. Lalu dikurangi lagi pinjaman ke bank, tiap bulan Rp 1,6 juta karena pinjam dari bank biasa, bunganya 2,5 persen per bulan. Musim tanam sekarang baru dapat kredit KKPE yang bunganya 0,5 persen,” papar Endang. Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) merupakan skema kredit dari pemerintah berbunga 6 persen per tahun untuk padi.
Termiskin
Dengan hitungan di atas, pendapatan Endang berimpit dengan pengeluaran. Endang, petani kaya itu, tidak bisa menanggung risiko gagal panen atau bila anggota keluarga harus dirawat di rumah sakit. ”Kalau mendesak, utang dulu ke saudara atau teman,” katanya.
Keuntungan sebagai petani padi sawah memang tipis. Bila semua pengeluaran usaha tani dihitung, biaya produksi per hektar mencapai Rp 8,7 juta-Rp 9 juta per hektar. Biaya terbesar untuk tenaga kerja, yaitu Rp 50.000 per hari, bekerja pukul 07.00-16.00. Di Karawang, biaya tanam Rp 660.000 per hektar, sewa traktor Rp 600.000, dan biaya panen nilainya hampir sama dengan 1 ton gabah.
Karena itu, produktivitas tanaman menjadi sangat penting, begitu juga sumbangan tenaga kerja keluarga. Dengan rata-rata produksi 6 ton gabah kering giling dan harga tertinggi seperti ditetapkan pemerintah, Rp 3.030/kg, petani mendapat Rp 18 juta lebih atau hasil bersih sekitar Rp 9 juta per musim. Bila tanahnya menyewa, pendapatan itu masih dipotong Rp 4,5 juta lagi. Alhasil per bulan penghasilan petani Rp 750.000-Rp 1,5 juta. Pendapatan bisa bertambah bila pada musim gadu bertanam palawija, tetapi itu tergantung ketersediaan air dan keserentakan petani menanam dalam satu hamparan. ”Kalau sendirian tanam, jadi sasaran tikus,” kata Endang.
Dengan hitungan itu, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Nasional Winarno Tohir menyebut petani padi adalah petani termiskin. Meski begitu, mereka tetap menanam padi karena merasa aman memiliki cadangan pangan keluarga dan hanya itu pekerjaan yang mereka tahu, meskipun banyak anak muda tak tertarik lagi bertani.
Endang, misalnya, tak ingin anaknya jadi petani meskipun dia mengirim anaknya ke sekolah pertanian. ”Kan bisa kerja jadi penyuluh atau di perusahaan pertanian, saya tidak ingin dia jadi petani,” katanya.
Usaha nonpertanian
Sejak lama sektor pertanian budidaya (on farm) tak diandalkan sebagai sumber penghasilan utama banyak keluarga petani. Masalahnya, seperti terlihat dari data Sakernas 2008, hanya seperlima atau 7,7 juta orang dari 41 juta orang yang bekerja di sektor pertanian budidaya memiliki pekerjaan tambahan (baca juga Memaknai Nilai Tukar Petani di halaman 48).
Kenyataan ini semakin memperkuat kebutuhan untuk meninjau lagi strategi pembangunan selama ini. Setelah keberhasilan swasembada pangan (beras) tahun 1984, orientasi pembangunan adalah membangun industri. Namun, pilihannya pada industri yang tidak berbasis pada sumber daya alam yang menjadi keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia.
Dalam potret desa, pembangunan pertanian budidaya pada dasawarsa 1980-an berhasil mengurangi angka kemiskinan sehingga Organisasi Pangan Dunia (FAO) memberi penghargaan kepada Indonesia pada tahun 1984. Saat itu, capaian swasembada beras menunjukkan perhatian yang serius bukan hanya pada memproduksi bahan pangan pokok, tetapi juga mengurangi kemiskinan di perdesaan.
Temuan Neil McCulloch dan kawan-kawan yang melakukan survei di enam kabupaten di Jawa dan luar Jawa pada 2006 (Rural Investment Climate in Indonesia, ISEAS, 2009) memperkuat argumen pentingnya mengembangkan industri dan jasa yang berhubungan dengan pertanian on farm.
Meskipun keterkaitan antara sektor pertanian budidaya dan kegiatan nonpertanian terus menurun dibandingkan dengan dekade 1970-an dan 1980-an, survei McCulloch dan kawan-kawan memperlihatkan keterkaitan itu tetap sangat kuat. Pertumbuhan 1 persen sektor pertanian membangkitkan pertumbuhan 1,2 persen dalam sektor nonpertanian di perdesaan. Karena itu, pertumbuhan sektor pertanian masih merupakan jalan menurunkan kemiskinan.
Di sisi lain, terus menurunnya peran sektor pertanian dalam pendapatan dan mandeknya pertumbuhan produktivitas sektor pertanian, terutama padi, sementara masih 41,2 persen tenaga kerja terlibat langsung dalam sektor pertanian budidaya, memperlihatkan pentingnya mengembangkan industri perdesaan. Kegiatan industri dan jasa off farm, menurut temuan penelitian McCulloch sebelumnya, telah menambah penghasilan keluarga petani dan membantu keluarga petani keluar dari kemiskinan.
Karena itu, masuk akal bila Endang sejak enam bulan lalu membuka kios sarana pertanian dengan modal Rp 25 juta. Sementara Walam yang punya tiga anak juga memelihara entok dan ayam kampung yang harganya bagus, selain terus menjadi pedagang tahu dari mertuanya di Bogor untuk dijual ke Jakarta, dan membuka kios pertanian dua tahun lalu. Karena itu, keluarga tersebut mampu memiliki televisi, mesin cuci, lemari es, dan panci pemasak nasi di rumah tembok berkamar tiga dengan satu kamar mandi dalam berlantai keramik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar